Pendidikan dasar bagi setiap muslim adalah merupakan
sesuatu hak yang harus dipenuhi oleh orang tua kepada anaknya atau wali kepada
anak asuhnya, atau guru kepada muridnya, atau ulama kepada kaum muslim di
lingkungannya, atau pimpinan terhadap yang dipimpinnya. Dengan bekal pendidikan
agama islam tersebut maka setiap muslim dapat menjalani hidup sesuai dengan
tuntunan dari Allah Subhanahu wataala yang dibawakan oleh Rasulullah sollallohu
alaihi wasallam.
Pendidikan agama islam yang sangat penting diajarkan
diantaranya adalah ilmu membaca Al Quran, tajwid, fikih (tuntunan ibadah,
halal, haram dsb), taukhid (aqidah) dan akhlak. Ilmu tersebut harus diajarkan
lebih awal sebagai pondasi bagi ilmu agama islam tingkat lanjut seperti nahwu,
shorof, balaghoh, mantik, tarikh, ushul fikih, hadis, tafsir, mustolaah hadis, faroid,
tasawuf, dan sebagainya. ibarat sebuah bangunan, pondasi yang kuat akan
menghasilkan bangunan yang kokoh. Setelah ilmunya sempurna barulah seseorang
dapat berpendapat dalam permasalahan yang didiskusikan terkait ilmu agama
islam. Apabila ilmunya masih sedikit maka berpendapat hanya akan membuat keruh
suasana, ibarat orang yang tidak paham ilmu mesin mau ikut memperbaiki mesin
maka yang terjadi justru menambah kerusakan mesin.
Dari mana seseorang mendapatkan ilmu agama akan
menentukan bagaimana seseorang menjalani agamanya. Oleh karena itu kita
hendaknya memperhatikan dari mana kita akan belajar ilmu agama. Kita haruslah
memilih guru yang benar-benar alim dan ahli dalam ilmu agama, selain itu guru
yang baik semestinya berakhlak mulia seperti wara, rendah hati, zuhud, takwa,
sopan, dan sifat baik lainnya. guru agama bagi kita dan anak-anak kita
semestinya adalah orang yang baik dan seseorang yang bisa kita teladani.
Sedangkan ketika kita belajar agama dari internet, pengajian di televisi,
pengajian radio, baca buku agama, baca majalah islami, dan media lainnya adalah
merupakan tambahan atau pelengkap, ibarat makanan maka pelajaran agama dari
media adalah snack, sedangkan pelajaran dari guru agama yang asli (kyai, ustad,
habib, ulama, murabbi, imam masjid, tuan guru, ajengan, syech, mursyid, sunan,
wali, dsb) adalah makanan pokok atau utama. Guru agama yang asli tersebut dapat
ditemui di lingkungan masing-masing karena biasanya orang yang ahli agama akan
menggelar ilmunya untuk mengajar misalnya lewat pengajian, majelis taklim,
sekolah formal, madrasah diniyah, universitas, maupun pondok pesantren.
Setinggi apapun ilmu kita, hendaklah tetap menghormati ulama lokal yang ada di
lingkungan masing-masing, sehingga sudah menjadi adab sopan-santun di kalangan
kaum muslimin bahwa ketika orang mau menggelar ilmunya terlebih dahulu
bersilaturrahim kepada ulama yang lebih tua di tempat yang akan dibuka
pengajiannya (ulama setempat). Untuk orang yang baru belajar ilmu agama Islam
sebaiknya tidak terlibat dalam debat antar golongan dan bersikap saling
menghormati. Ulama yang tinggi ilmunya justru akan menghargai pendapat golongan
lain dan banyak terjadi bahwa yang terlibat pertengkaran antar golongan adalah
kalangan awam umat yang belum mendalam keagamaannya.
Para alim ulama dan guru agama Islam memakai buku atau kitab
standar yang diambil dari Quran, Hadis , Ijmak dan Qiyas. Ilmu mereka bersanad
muttasil dengan Rasulullah SAW. Artinya ketika kita belajar pada ustad yang
benar ilmu kita nyambung dengan Rasululullah SAW karena ustad kita belajar dari
ulama dan ulama tersebut belajar dari gurunya lagi, kemudian gurunya juga
belajar dari gurunya begitu seterusnya sampai guru yang terakhir belajar dari
tabiin, tabiin belajar dari sahabat, sahabat belajar dari Rasulullah SAW.
Dengan ilmu yang muttasil (nyambung) tersebut maka kemungkinan terjadinya
distorsi pemahaman atas ilmu yang benar dapat diminimalisir. Inilah kenapa
dikatakan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi, artinya ulama mewarisi ilmu
yang diajarkan oleh para Nabi alaihimussalam. Literatur dan kitab yang dipakai oleh ulama tidak
diragukan lagi keabsahannya karena diambil dari sumber pengambilan hukum Islam
yang pokok yaitu Al Quran dan Hadits, serta ijmak dan qiyas, dan pengambilan
hukum (istinbath hukum) itu dilakukan dengan metode yang paling benar serta
sangat berhati-hati. Para ulama tersebut lebih tahu dan lebih alim dari kita,
mereka lebih menjauhi dosa, dan lebih berhati-hati dibanding kita. Misalnya
bagi kita makan sambil berdiri atau jalan sudah biasa, bagi mereka makan sambil
jalan sudah dianggap orang yang tidak bisa dipercaya. Ini menunjukkan betapa
besarnya kehati-hatian ulama terhadap perkara yang makruh sekalipun apalagi
yang haram. Tidak mungkin mereka akan memasukkan sesuatu dalam kitabnya kecuali
sesuatu itu memang benar adanya. Diantara literatur standar ilmu Agama Islam
misalnya dalam ilmu fikih adalah safinatunnajah, sullamu taufiq, fathul qorib,
fathul muin, mahalli, juga kunci ibadah dan fikih sunnah dll. Dalam ilmu akidah diantaranya aqidatul awam, dalam ilmu akhlak ada akhlaki lil banin, dalam
ilmu tajwid ada kitab hidayatus sibyan, dalam ilmu nahwu ada jurmiyyah,
imrithi, dan alfiyah. Dengan pondasi ilmu tersebut maka keyakinan seorang
muslim akan kokoh serta dapat melaksanakan ibadah sesuai yang diperintahkan
Allah SWT melalui Rasulullah SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar